Dalam keimanan seorang muslim, kematian bukan sekadar akhir, melainkan kepergian menuju janji Allah. Kita tetap menyebutnya kepergian, karena sesungguhnya ruh hanya berpindah—dari kehidupan yang sementara menuju kehidupan yang kekal.

Saat seseorang wafat, ia seolah melangkah meninggalkan rumah dunia. Rumah yang penuh singgah dan ujian. Tak ada koper yang dibawanya, tak ada harta yang menyertai. Yang ikut hanyalah amal, doa, dan iman yang selama ini ia rawat diam-diam. Di situlah perbedaan paling nyata antara kepergian biasa dan kematian: kematian adalah perjalanan tanpa kembali ke dunia, namun bukan perjalanan menuju ketiadaan.

Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa dunia ini hanyalah ladang, sedangkan akhirat adalah tempat panen. Maka kematian adalah saat seseorang dipanggil pulang oleh Pemilik ladang itu sendiri. Bukan untuk menghilang, tetapi untuk mempertanggungjawabkan hidupnya. Bukan untuk lenyap, tetapi untuk memulai kehidupan yang sesungguhnya.

Bagi yang ditinggalkan, duka terasa amat manusiawi. Air mata jatuh, dada sesak, rindu tak tahu arah. Namun iman memberi cahaya di tengah gelap itu: bahwa perpisahan ini bukan yang terakhir. Ada hari pertemuan kembali, ketika Allah mengumpulkan hamba-hamba-Nya, dan tak ada lagi kata berpisah.

Karena itu, seorang muslim diajarkan mengucap, “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.” Kita milik Allah, dan kepada-Nya kita kembali. Kalimat ini bukan sekadar ucapan penghibur, melainkan pengakuan iman—bahwa hidup dan mati berada dalam genggaman-Nya, dan setiap kepergian terjadi atas izin-Nya.

Kematian memang kepergian untuk selamanya dari dunia. Tapi bagi orang beriman, ia adalah kepulangan. Pulang menuju rahmat Allah, menuju keadilan-Nya, dan—bagi hamba yang taat—menuju harapan akan surga-Nya.

Maka saat kita mengantar seseorang ke liang lahat, sesungguhnya kita sedang diingatkan: suatu hari nanti, kita pun akan melakukan perjalanan yang sama. Dan satu-satunya bekal yang akan ditanya bukan siapa kita di dunia, melainkan seberapa dekat kita dengan Allah.