Pada dasarnya, Alquran adalah salah satu sumber penting bagi umat Islam yang memberikan petunjuk dalam banyak aspek kehidupan, termasuk masalah nepotisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dijelaskan sebagai tindakan memberikan preferensi kepada anggota keluarga sendiri, terutama dalam hal jabatan atau peluang. Bagaimanakah pandangan Islam mengenai nepotisme?

Musthofa Mu'in dalam bukunya yang berjudul "Menggapai Kebahagiaan yang Hakiki" menjelaskan bahwa dalam Alquran, banyak kisah yang dapat dihubungkan dengan konsep nepotisme. Ia mengambil contoh bahwa sebagian besar nabi dalam sejarah adalah anggota keluarga yang dekat. Misalnya, Nabi Musa adalah saudara dari Nabi Harun dan juga menantu dari Nabi Syuaib. Nabi Ibrahim adalah ayah dari Nabi Ismail.

Pertimbangan serupa berlaku untuk para Khulafaur Rasyidin, yang juga memiliki hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khattab adalah mertua dari Nabi Muhammad SAW, sementara Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah kerabat dekatnya.

Musthofa Mu'in berpendapat bahwa nepotisme dapat diterima selama dipertimbangkan kepada keluarga yang memiliki kompetensi dan kemampuan di bidang tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa tindakan nepotisme menjadi melanggar prinsip agama jika preferensi diberikan kepada anggota keluarga yang tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan jabatan yang mereka emban.

Lebih lanjut, Musthofa Mu'in mencatat bahwa Alquran juga berisi kisah-kisah yang memberikan pelajaran terkait dengan nepotisme. Contohnya adalah saat Nabi Nuh memohon kepada Allah SWT untuk memberi pengampunan kepada putranya (Kan'an), namun permohonannya ditolak oleh Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan dalam Alquran surat Hud ayat 46.

Hal serupa terjadi ketika Nabi Ibrahim tidak bisa memberi pengampunan kepada ayahnya yang melakukan perbuatan durhaka kepada Allah SWT. Allah SWT bahkan mengancam hukuman berlipat ganda kepada istri-istri nabi yang melakukan kejahatan, seperti yang tertera dalam surat Al Ahzab ayat 30.

"Ini adalah bagian dari sejarah yang memberikan pelajaran kepada kita bahwa selama anggota keluarga memiliki kemampuan dan keahlian, maka nepotisme bisa dianggap sebagai tindakan yang wajar. Namun, jika anggota keluarga tersebut tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan, maka nepotisme menjadi pelanggaran," jelas Musthofa Mu'in.

Musthofa Mu'in menjelaskan bahwa Islam mengajarkan pentingnya mempersiapkan sumber daya keluarga sebelum dipanggil oleh Allah SWT. Ini sesuai dengan firman Allah SWT yang menyatakan agar kita merawat keturunan kita dan memastikan bahwa mereka tidak menjadi beban bagi orang lain.

Dalam konteks sedekah, Islam juga mengajarkan prioritas dalam membantu anggota keluarga yang berada dalam kondisi kekurangan dibandingkan dengan orang lain. Ini bertujuan untuk mencegah anggota keluarga menjadi tanggungan bagi orang lain dan sekaligus mempererat silaturahmi antar keluarga. Dalam pandangan ini, nepotisme yang mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan individu adalah tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai agama, sementara nepotisme yang tidak mempertimbangkan faktor ini dianggap sebagai pelanggaran.

Secara keseluruhan, pandangan Islam tentang nepotisme mengajarkan pentingnya mempertimbangkan kompetensi individu dan memastikan bahwa preferensi diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diemban. Dengan demikian, nepotisme yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini dianggap sebagai tindakan yang dilarang oleh agama.

 

IQRA