Surabaya – Beberapa hari terakhir viral di media sosial video seorang pria berjenggota dan bercelana cingkrang mengamuk di Masjid Al Ikhlas, Palm Spring, Jambangan, Surabaya. Pria termasuk marah terhadap remaja masjid yang tengah bermain rebana di dalam masjid.

Menanggapi video ini, Ketua Fatwa MUI Jatim KH Ma’ruf Khozin menyebut, pria tersebut berasal dari kelompok Salafi.

“Jadi mereka ini kan identik dengan kelompok salafi. Itu sudah terlihat dari jenggotnya, celana cingkrangnya. Tapi yang lebih berat dari mereka itu soal doktrin. Mereka memiliki doktrin di luar kelompoknya salah dan yang benar hanya mereka,” kata Kiai Ma’ruf Khozin dikutip dari detikJatim, Kamis (5/10/2023).

Kiai Ma’ruf menyebut kelompok Salafi memiliki doktrin semua alat musik haram. Sehingga, tidak membedakan mana musik rebana atau musik dangdut, jazz dan lainnya.

“Salah satu doktrinnya soal musik, semua musik itu haram. Sehingga tidak membedakan mana musik rebana, dangdut, dan semua haram termasuk di masjid,” jelasnya.

Ia membeberkan soal musik yang tidak dilarang di zaman nabi. “Sekarang apakah benar demikian (segala musik haram)? Ternyata tidak. Di zaman nabi, ada alat musik yang namanya rebana yaitu terbangan. Kala itu ada sahabat perempuan bilang ke nabi, saya punya nazar kalau nabi pulang selamat, maka saya akan tabuhkan terbangan ini. Nabi saat itu menjawab silakan kamu tabuh terbangannya,” jelas Ma’ruf.

“Di zaman nabi, terbangan semacam kulit hewan ada kayunya dan nabi membolehkan. Ada sendiri hadits soal anjuran menikah, bahwa semarakkan pernikahan kalian dan jadikan pernikahan di dalam masjid lalu semarakkan pernikahan itu dengan menabuh terbangan. Ini Hadits Tirmidzi, ini hadits yang dijadikan dalil oleh sebagian kiai, habaib memperbolehkan menabuh terbangan, rebana di dalam masjid,” tambahnya.

Tak hanya itu, Kiai Ma’ruf sendiri sudah melihat video viral tersebut. Ia menilai, apa yang dilakukan para remaja masjid tidak ada yang salah.

“Kemarin itu saya dapat kiriman videonya, itu terbangan jidor. Kecuali, itu alat orkes dangdut koplo, itu beda. Sebab, musik rebana identik musik selawatan, religi, keislaman, jadi tidak ada masalah. Asalkan tidak ditabuh pada masa salat, kajian. Kan itu pas rehat, sedang tidak masa salat atau pengajian,” jelasnya.

“Jadi anak-anak remaja masjid daripada di warkop giras, daripada ke tempat remang-remang, ya lebih baik diarahkan ke masjid. Sayangnya, pria itu menganggap semua jenis musik haram sehingga begitu keras menyikapi. Dan itu sudah betul sikap remaja membela diri bahwa rebana beda dengan musik koplo dan dangdut,” tambahnya.

Untuk itu, Kiai Ma’ruf meminta semua umat Islam menghargai segala perbedaan, apalagi di tempat umum, termasuk di tempat ibadah. Jangan sampai merasa paling benar sehingga menyalahkan orang lain.

“Ini yang kemudian perlunya kalau kata orang Jawa tepo seliro, mau menerima perbedaan sesama muslim, karena saudara kita (kelompok Salafi) ke sesama muslim keras, dianggap musuh, padahal mereka pendatang dan jauh dari etika khilafiyah sesama muslim,” jelasnya.

“Jadi saudara-saudara muslim kita ini ada yang keras soal kebangsaan. Orang yang di masjid itu soal NKRI tidak keras, tapi keras soal amaliyah. Musik itu menurut mereka kemungkaran. Ini sekali lagi karena masjid di perumahan mungkin mereka berani, kalau masjid di kampung wilayah Muhammadiyah, NU mungkin tidak akan berani. Beraninya di masjid netral,” tegasnya.

Ia juga meminta semua umat Islam memperluas dan memperbanyak ajaran soal agama Islam agar lebih menghargai adanya perbedaan.

“Saya harapkan saudara muslim perluas lagi ilmu kita, jangan merasa yang diajarkan guru kita satu-satunya yang benar., karena masih ada riwayat dalil lain yang jadi perselisihan,” tandasnya.

ISLAMKAFFAH