Pada tanggal tertentu, Calon Presiden (Capres) dari PDI Perjuangan (PDIP), Ganjar Pranowo, muncul dalam sebuah tayangan azan di salah satu stasiun televisi swasta yang dimiliki oleh Ketua Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo. Munculnya tayangan ini menciptakan sensasi karena beberapa pihak mengklaim bahwa tindakan Ganjar ini merupakan bagian dari Politik Identitas, yang merupakan salah satu cara berpolitik yang dianggap bisa mengancam keberagaman di Indonesia.

Namun, perlu dicatat bahwa orang-orang yang menyebarkan klaim ini mungkin tidak sepenuhnya memahami esensi dari Politik Identitas itu sendiri. Faktanya, tayangan azan yang dilakukan oleh Ganjar tidak menimbulkan konflik atau tanda-tanda perpecahan di kalangan masyarakat yang berkaitan dengan unsur agama.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, menilai bahwa tayangan azan ini adalah hal yang wajar. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan tayangan tersebut, bahkan ia menyatakan bahwa ini adalah langkah yang positif.

Pendapat serupa datang dari PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Ketua PBNU, Nasyirul Falah Amru (Gus Falah), berpendapat bahwa tayangan tersebut tidak dapat dianggap sebagai Politik Identitas. Gus Falah menjelaskan bahwa Politik Identitas melibatkan serangan terhadap tokoh, kandidat, atau kelompok berdasarkan identitas seperti suku, ras, gender, atau agama tertentu. Dalam kasus tayangan azan yang menampilkan Ganjar Pranowo, tidak ada indikasi adanya serangan terhadap identitas tokoh atau kelompok lain.

Sebelum kontroversi terkait tayangan azan Ganjar Pranowo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, telah mengingatkan bahwa penggunaan Politik Identitas dalam pemilihan umum dapat memicu polarisasi dan perpecahan dalam masyarakat. Namun, ia juga menegaskan bahwa Politik Identitas berbeda dengan Identitas Politik.

Dalam konteks ini, tayangan azan di televisi yang menampilkan Ganjar Pranowo tidak dapat dianggap sebagai Politik Identitas. Sebaliknya, hal ini mungkin lebih tepat disebut sebagai bagian dari identitas politik Ganjar sebagai seorang muslim.

Hal yang dilakukan Ganjar dalam tayangan azan ini sebanding dengan tindakan Anies Baswedan dan Cak Imin yang melakukan ziarah ke makam Wali Songo. Namun, tindakan mereka tidak dianggap sebagai Politik Identitas. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa istilah Politik Identitas seharusnya dihindari dalam konteks seperti ini, karena hal ini hanya merupakan bagian dari identitas politik individu atau tokoh yang bersangkutan.