Diantara syarat sahnya shalat adalah suci dari najis. Badan, pakaian dan tempat harus steril dari najis. Jika tidak demikian maka shalatnya tidak sah. Namun, syarat ini begitu sulit dipenuhi bagi mereka yang sedang sakit. Seperti memakai selang di kemaluan, harus memakai pampers dan alat-alat lain yang menyebabkan seseorang sulit terhindar dari najis.

Dalam madhab Syafi’I, jika pemakaian alat bantu tersebut merupakan satu-satunya alternatif dan bias diganti dengan alat lain yang suci dan jika dilepas dipastikan menimbulkan kemudharatan, maka shalat dengan membawa alat yang najis tersebut adalah sah dan tak perlu mengulangi shalatnya (i’adah) pada saat orang tersebut sembuh.

Akan tetapi, kalau masih mungkin mengganti alat tersebut dengan alat lain yang suci, atau alat tadi masih bisa dilepas, sementara ia tidak melepas atau mengganti dengan yang lain maka shalatnya masuk kategori shalat li hurmatil waqti (shalat sekadar menghormati waktu shalat) serta wajib mengulang (I’adah) ketika ia sembuh. (Hasyiyah al Jumal ‘ala Syarhil Minhaj: 1/416).

Solusi terbaik adalah berpedoman kepada madhab Maliki yang menyatakan, menghilangkan najis bagi orang yang akan melaksanakan shalat hukumnya diperselisihkan, wajib atau sunnah? Menurut Imam Khattab ar Ruini dalam Mawahib al Jalil ‘ala Syarhi Mukhtashar Jalil (1/130), pendapat yang unggul (rajih) mengatakan wajib, sementara menurut pendapat yang tidak diunggulkan (marjuh) hukumnya sunnah.

Maka, bagi mereka yang sedang sakit dan sulit terhindar dari najis solusinya mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa menghilangkan najis ketika hendak shalat hukumnya sunnah. Sehingga, sekalipun

shalat dengan membawa najis dari alat alat yang dipakai, baik karena sulit atau sengaja sekalipun, shalatnya sah serta tidak ada kewajiban “i’adah” atau mengulang sholatnya ketika sudah sembuh.

Akan tetapi, penting dicatat manakala hendak “taqlid” atau ikut pendapat madhab Maliki, maka disyaratkan harus satu “qhodiah” atau satu paket di dalam cara bersucinya. Yakni, wudhu dan shalatnya harus mengikuti madhab Maliki.

Dalam kitab yang sama Imam Khattab ar Ruini (1/182) menjelaskan praktik berwudhu madhab Maliki yang sedikit berbeda dengan praktik wudhu madhab Imam Syafi’i. Secara global, perbedaan dan kesamaan fardu-fardunya wudhu di antara dua mazhab tersebut adalah berikut ini.

  1. Niat, kedua mazhab itu sama sama menjadikan niat sebagai rukun wudhu’.
  2. Membasuk wajah.
  3. Membasuh kedua tangan sampai sikut.
  4. Mengusap sebagian rambut kepala didalam mazhab syafii, mengusap semua rambut kepala didalam mazhab maliki.
  5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
  6. Tertib, mazdhab syafii menjadikannya sebagai rukun, mazdhab maliki tidak.
  7. Muwalah atau terus menerus, mazhab maliki menjadikannya sebagai rukun, mazhab syafii tidak.
  8. Ad-dalku atau menggosok-gosok anggota wudhu’, mazhab maliki menjadikannya sebagai rukun, mazdhab syafii tidak.

Sebagai catatan akhir, rukun atau fardhnya wudhu yang berjumlah tujuh itu berdasarkan pendapat yang masyhur di dalam mazhab maliki.

Dengan demikian, sekalipun dalam keadaan sakit dan sulit terhindar dari najis, berpedoman pada madhab Mailiki di atas, dimana ada pendapat yang mengatakan bahwa menghilangkan najis ketika akan shalat hukumnya sunnah, maka seseorang boleh melakukan shalat dan tidak perlu I’adah atau mengulangi shalatnya ketika ia sembuh.

 

sumber ISLAMKAFFAH