Pemerintah telah mengeluarkan pernyataan bersama untuk memberantas penyelenggara pinjaman online dan investasi ilegal karena telah merugikan masyarakat hingga sebesar Rp114,9 triliun sejak satu dekade terakhir.
Afifah Muflihati tak pernah menyangka akan terjerat utang hingga ratusan juta rupiah. Tak hanya itu, ia juga mendapatkan teror serta dipermalukan pihak peminjam yang mengirimkan pesan berisi pencemaran nama baik dirinya kepada sekitar 50 nama kerabat dan rekan kerjanya. Semua berawal dari desakan ekonomi akibat berkurangnya pemasukan bulanan yang ia terima sebagai karyawan honorer sejak pandemi berlangsung.
Ia dan suami mulai kehabisan uang untuk memenuhi kebutuhan susu kedua buah hatinya. Ketika sedang berselancar di media sosial pada 20 Maret 2021, perempuan asal Kabupaten Semarang, Jawa Tengah itu melihat iklan aplikasi dari sebuah perusahaan financial technology (fintech) atau pinjaman online (pinjol). Iming-iming penawaran pinjaman uang diberikan tanpa ada jaminan, bunga rendah sekitar 0,04 persen, proses cepat, dan jangka waktu pengembalian cukup lama.
Perempuan 27 tahun itu merasa menemukan jalan keluar dari kesulitan yang sedang ia hadapi. Singkat kisah, ia pun menyiapkan persyaratan yang diperlukan agar mendapatkan pinjaman senilai Rp5 juta, angka ajuannya. Ia pun diminta menyiapkan foto diri, foto kartu tanda penduduk (KTP), dan foto dirinya sambil memegang KTP. Kemudian persyaratan itu dikirimkan melalui aplikasi Whatsapp ke nomor telepon seluler petugas pinjol.
Tak sampai hitungan 5 menit, sebuah pengumuman masuk ke aplikasi Whatsapp miliknya, bahwa dana yang diajukan telah terkirim lewat transfer perbankan. Afifah seperti tak percaya, semudah itu ia mendapatkan pinjaman uang dari aplikasi pinjol. Dana itu belum juga dimanfaatkannya hingga lima hari pascatransfer ia mendapatkan pesan dari aplikasi Whatsapp yang isinya agar segera melunasi pinjaman tersebut.
Pesan itu diabaikannya. Masuk hari ketujuh bencana pun datang. Petugas penagihan dari aplikasi pinjol mulai menebar teror berisi pencemaran nama baik dirinya kepada 50 nomor kontak yang terdapat di ponsel Afifah. Pesan teror itu ada yang masuk melalu pesan singkat (SMS) atau ke Whatsapp dari 50 nomor tadi.
Ia pun mulai berjibaku untuk menutupi pinjaman itu karena merasa dipermalukan dan ketahuan meminjam oleh kerabat dan rekan-rekan kerja. Lagi-lagi ia meminjam kepada beberapa pinjol lainnya untuk menutupi tunggakan. Tanpa ia sadari, dari aksi gali lubang tutup lubang ini, ada 40 aplikasi pinjol yang kemudian memberikan pinjaman dengan nilai kredit yang harus dilunasi mencapai Rp206 juta.
Bak berlomba di sirkuit balap, ia berkejaran tak hanya dengan waktu tetapi juga melawan teror-teror penagih utang. Afifah pun terpaksa menggadaikan rumah agar terlepas dari jeratan pinjol. Perlawanan pun dilakukan dengan melaporkan pinjol-pinjol itu kepada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Tengah, 3 Juni 2021 lalu. Selain diduga ilegal dan tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengelola pinjol itu juga telah melakukan pencemaran nama baik serta teror.
Derasnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi alasan tumbuh suburnya bisnis pinjol di Indonesia. Menurut data Internet World Stats, hingga akhir Maret 2021, pengguna internet di tanah air mencapai 212,35 juta orang dari total jumlah penduduk 270 juta jiwa hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik 2020. Sedangkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, hingga Februari 2021 terdapat 202,3 juta pemakai internet di seluruh Indonesia.
Jasa pinjol dengan basis peer-to-peer (P2P) lending secara elektronik amat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, umumnya menengah ke bawah. Mereka selama ini terkendala untuk mendapatkan akses pembiayaan ke perbankan atau pegadaian karena tidak mempunyai cukup agunan. Namun sayangnya tidak sedikit dari pelaku usaha peminjaman dana online itu yang beroperasi tanpa izin resmi OJK.
Pinjol sendiri diatur lewat Peraturan OJK nonor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI). Selain harus memiliki sistem kelembagaan dan modal kuat, pelaku usaha pinjol harus menjadikan aspek perlindungan nasabah sebagai bagian dari sistem operasional. Sehingga hak dan kewajiban nasabah pinjol terlindungi.
Dalam basis data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), hingga 27 Juli 2021 tercatat ada 121 penyelenggara pinjol berstatus terdaftar dan mendapatkan lisensi untuk beroperasi penuh oleh OJK. Ke-121 pinjol itu bisa dilihat di laman situs www.ojk.go.id atau www.cekfintech.id.
"Mereka ini yang diberi izin resmi untuk melakukan kegiatan peer-to-peer lending di Indonesia dan sanggup memenuhi asas kerja tekfin yaitu legalitas dan logis atau 2L," kata Ketua Umum AFPI Adrian Asharyanto Gunadi, mantan bankir perbankan syariah nasional.
Di luar 121 penyelenggara jasa pinjol resmi terdapat juga pengelola sejenis namun tidak terdaftar atau ilegal. Jumlah mereka justru jauh lebih banyak. Lihat saja data yang dikumpulkan Satuan Tugas Waspada Investasi OJK. Kurun Januari hingga 14 Juli 2021 saja, Satgas Waspada Investasi OJK sudah memblokir 172 entitas pinjol ilegal atau bodong. Angka ini menambah panjang daftar jumlah usaha pinjol ilegal yang diblokir OJK sejak 2018, yaitu sebanyak 3.365 entitas.
Berantas Pinjol Ilegal
Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pun ikut terusik dengan kehadiran pinjol ilegal yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jenderal Polisi Agus Andrianto pada Juni 2021 lalu telah menerbitkan telegram meminta kepada seluruh kepolisian daerah di tanah air untuk menertibkan pinjol-pinjol ilegal.
Seiring hal tersebut, sebuah pernyataan bersama pada Jumat (20/8/2021) dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Mabes Polri, Bank Indonesia, dan OJK untuk memberantas pinjol ilegal.
Menurut Menteri Kominfo Johnny G Plate, sejak 2018 hingga 17 Agustus 2021 pihaknya telah memutus akses terhadap 3.856 konten terkait tekfin yang melanggar peraturan perundang-undangan termasuk platform pinjol ilegal. "Kami mengajak kementerian dan lembaga terkait dan pemangku kepentingan dari sektor privat untuk bersama-sama mewujudkan ekosistem pinjaman online yang kondusif dan aman serta bermanfaat bagi masyarakat untuk mendorong perekonomian nasional," kata Johnny.
Sedangkan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyatakan, aktivitas pinjaman online ilegal yang mengatasnamakan atau berkedok koperasi simpan pinjam (KSP), dapat memperburuk citra koperasi. Hal senada juga diungkapkan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso yang telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memberantas pinjol ilegal melalui Satgas Waspada Investasi.
Satgas ini rutin melakukan cyber patrol, pemblokiran situs dan aplikasi pinjol bodong, menertibkan KSP yang menawarkan pinjaman daring ilegal. Akibat ulah investasi bodong, baik lewat aplikasi pinjol gelap atau berkedok KSP, OJK mencatat dalam kurun 2011-2020 kerugian yang diderita masyarakat mencapai Rp114,9 triliun.
OJK juga menggandeng Google untuk memperketat pemasangan aplikasi pinjol di platform Google Play Store. Terhitung sejak 28 Juli 2021, Google Indonesia telah meminta persyaratan tambahan kelayakan bagi aplikasi pinjaman pribadi antara lain berupa dokumen lisensi atau terdaftar di OJK.
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya memberi dukungan penuh terhadap pemberantasan pinjol ilegal. Dukungan dari otoritas di bidang sistem pembayaran itu berupa penekanan aspek kehati-hatian oleh penyedia jasa pembayaran (PJP) nonbank dalam menjalankan bisnisnya. BI juga melarang PJP nonbank untuk bekerja sama atau memfasilitasi penyelenggara pinjol ilegal dan memperkuat literasi keuangan.
Masyarakat juga diminta melaporkan atau mengadukan kasus pinjol ilegal melalui Kepolisian lewat laman situs www.patrolisiber.id dan info@cyber.polri.go.id. Dapat pula melalui Kontak OJK 157 (Whatsapp 081157157157) dan email konsumen@ojk.go.id atau waspadainvestasi@ojk.go.id. Masyarakat juga dapat mengadu terkait investasi atau pinjol ilegal ke laman situs www.aduankonten.id dan email aduankonten@kominfo.go.id serta Whatsapp 08119224545.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari
0 Komentar