Seorang pria bernama Peng Jiezhao di Cina telah mengalami pengalaman yang mengejutkan setelah mencoba pinjaman online (pinjol) demi memuaskan keinginannya membeli smartphone dan sepatu olahraga terbaru. Pada awalnya, dia hanya ingin meminjam 300 yuan, setara dengan Rp 601 ribu (dengan kurs 1 yuan = Rp 2.004) melalui layanan pinjol. Namun, kejutannya datang ketika jumlah utangnya meledak hingga beberapa kali lipat.

Menurut laporan dari AFP pada hari Ahad, 15 Desember 2019, ternyata Peng malah terperosok ke dalam lubang utang pinjol. Ia akhirnya melakukan pinjaman dari berbagai penyedia layanan pinjol hingga mencapai 20 pemberi pinjaman.

Saat ini, Peng, yang bekerja sebagai insinyur di sebuah perusahaan komunikasi, terjebak dalam utang senilai 100 ribu yuan atau setara dengan Rp 200 juta! Ia mengungkapkan bahwa pendapatan yang diterimanya habis hanya untuk membayar utang pinjol dan tidak ada yang tersisa untuknya.

Pasar pinjol di Cina telah berkembang sejak tahun 2012 karena banyaknya generasi muda yang tertarik dengan teknologi tersebut. Sayangnya, perkembangan ini juga membawa berbagai kasus penipuan karena kurangnya pengawasan dari pihak pemerintah.

Mulai dari tahun 2017, pemerintah Cina mulai menggelar kampanye membersihkan praktik perbankan bayangan yang tidak diatur dengan baik. Pinjol atau pinjaman antar-pribadi (peer-to-peer lending/P2P) menjadi pemicu utama masalah ini.

Pada Agustus 2018, South China Morning Post melaporkan bahwa ratusan orang mengalami kerugian akibat pinjol dan mereka bahkan melakukan protes di ibu kota Beijing. Pihak kepolisian turun tangan untuk membawa pengunjuk rasa pulang.

Pemerintah Cina kemudian mengambil tindakan tegas dengan mengurangi jumlah layanan pinjol secara signifikan. Saat ini, hanya ada 1.490 layanan pinjol yang tersedia di Cina, berkurang dari sekitar 5.000 layanan sebelumnya.

 

SUMBER: LIPUTAN 6