New Delhi, 23 Agustus 2023 – Pasca dampak yang dahsyat dari pandemi Covid-19, dunia kembali menghadapi ketegangan geopolitik di Eropa Timur, yang melahirkan tantangan baru seperti fluktuasi harga, kelangkaan pasokan, isu keamanan, dan keraguan ekonomi yang berkontribusi pada krisis energi global.
Oki Muraza, Senior Vice President Research Technology & Innovation PT Pertamina (Persero), menjelaskan bahwa gejolak politik di Eropa telah memicu kenaikan harga energi yang berdampak merugikan pada ketahanan energi Indonesia.
"Kita harus berupaya meningkatkan ketahanan energi sambil tetap meraih tujuan-tujuan keberlanjutan. Bagaimana caranya mengurangi emisi dan meningkatkan kapasitas energi hijau, seperti listrik ramah lingkungan, merupakan hal yang harus dipertimbangkan," kata Oki Muraza dalam Sustainability Summit B20 di New Delhi, India (22/8).
Oki menjelaskan bahwa sebelum krisis geopolitik terjadi, Eropa merupakan pemimpin dalam peralihan menuju keberlanjutan. Namun, dengan berkurangnya keamanan energi, Eropa terpaksa harus mengimpor energi seperti batu bara, sehingga mengubah lanskap energi global. Untuk mengantisipasi hal ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India perlu menjalin kerja sama dengan negara maju, terutama dalam hal pendanaan.
"Kerja sama memiliki peranan penting dalam mengatasi situasi ini. Contohnya, kerja sama yang telah terjalin dengan Jepang dalam CO2 Injection di Lapangan Jatibarang dan Lapangan Sukowati. Pertamina akan terus memperluas kolaborasi ini dengan melibatkan sumber pendanaan internasional guna mendukung transisi energi di Indonesia," tambahnya.
Selain itu, Oki menekankan bahwa dalam proses transisi energi, pengembangan teknologi menjadi kunci sukses, karena teknologi yang berkembang akan meningkatkan efisiensi ekonomi. Di dalam Pertamina Group, terdapat delapan inisiatif yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori.
Pertama, Pertamina berupaya menghasilkan energi hijau dari sumber Geothermal, dengan kapasitas saat ini mencapai 672 Megawatt yang dikelola oleh Pertamina sendiri dan 1.2 GW bersama mitra. Di samping menghasilkan listrik bersih, Pertamina juga mengembangkan Green Hydrogen sebagai produk menarik untuk pasar ekspor.
Kategori kedua adalah Energi Terbarukan Variabel (Variabel Renewable Energy), seperti energi surya (solar PV). Energi terbarukan ini perlu diintegrasikan dengan jaringan listrik dan penyimpanan energi (battery).
Kategori ketiga mencakup pemanfaatan sumber daya melimpah di Indonesia seperti curah hujan, sinar matahari, dan biomassa. Sumber daya ini dapat diolah menjadi bahan bakar nabati (vegetable oil), solar hijau (green diesel), atau bioetanol yang dicampur dengan bensin.
"Kami berusaha mengubahnya menjadi bahan bakar dengan emisi lebih rendah, menggunakan infrastruktur yang ada," ungkap Oki.
Valentin De Miguel, Senior Managing Director Growth & Strategy Lead Growth Market, sejalan dengan itu, menjelaskan bahwa untuk menghadapi tantangan energi global, negara-negara berkembang perlu melakukan implementasi dan eksekusi secara serius.
"Oleh karena itu, mendorong inovasi, penelitian, dan analisis teknologi bahan bakar alternatif seperti hidrogen, amonia, dan terutama penangkapan karbon menjadi sangat mendesak. Ketiga teknologi utama ini harus dikedepankan dengan tekad yang kuat," ujar Miguel.
Pertamina, sebagai pemimpin dalam transisi energi, telah berkomitmen mendukung target Net Zero Emisi pada tahun 2060 dengan terus memajukan program-program yang berdampak positif terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDG). Upaya ini selaras dengan implementasi Environmental, Social, & Governance (ESG) di seluruh aspek bisnis dan operasional Pertamina.
0 Komentar