Dahlan Iskan menulis di Disway tentang persoalan holdingisasi Pertamina. Sebenarnya tulisan di sana tidak mempersoalkan secara langsung tentang proses subholding yang dilakukan.
Tapi ada beberapa pernyataan yang terkesan sinis. Misalnya di sana Dahlan menulis, Pertamina benar-benar hanya jadi holding. Atau dulu dia juga pernah menulis komentar soal pembentukan superholding belum diperlukan.
Pernyataan semacam ini kelihatannya sepele, padahal itu mirip peluit anjing. Bagi masyarakat umum mungkin tidak memiliki kesan apa-apa. Tapi untuk kalangan tertentu, pesan di dalamnya cukup terbaca jelas. Ada sentimen negatif di sana.
Seolah-olah menjadi holding bagi anak usaha di bawahnya adalah sebuah dosa. Holdingisasi itu seperti memasuki lorong yang gelap dan serba tak pasti. Padahal, ketika jadi Menteri BUMN dulu, sedikit-banyak Dahlan juga mencita-citakan hal yang sama.
Dan faktanya, kata Erick, berkat Subholding Upstream Pertamina, bisnis hulu Pertamina sudah tercatat untung 14 triliun. Hal itu dikarenakan ditemukan sumber migas baru.
Beberapa anak usaha yang sebelumnya mencatatkan kerugian, juga sudah menghasilkan untung. Seperti yang terjadi di bidang petrokimia.
Impian semacam itu mustahil terjadi di zaman SBY. Di zaman Dahlan. Karena di masa lalu, BUMN semata-mata menjadi sapi perah. Menjadikan perusahaan negara lincah dan menguntungkan ya melawan kodrat. Tentu saja ini versi mereka.
Zaman berubah. Ketika Jokowi "naik tahta," impian pertama kali yang dilontarkannya adalah ingin membuat super holding. Satu payung besar yang menaungi seluruh perusahaan negara.
Jika itu dilakukan, maka kementerian BUMN harus bubar. Karena perusahaan negara akan dipimpin seorang CEO. Mereka akan benar-benar bergerak sesuai sifat alami mereka, untuk terus tumbuh besar tanpa hambatan.
Di BUMN kita, hal itu tidak bisa dilakukan. Semua dikontrol penuh oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Seorang Dirut sekalipun tidak memiliki kebebasan untuk bergerak di luar kotak. Dan kita tahu, bisnis yang dikelola pemerintah biasanya berantakan. Karena rantai birokrasinya panjang. Banyak parasit politiknya juga. Pokoknya ruwet.
Impian kita itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan impian Singapura bersama Temaseknya. Atau Malaysia dengan Khazanahnya. Bedanya, Singapura dan Malaysia sudah melakukannya. Dan sukses.
Temasek bahkan dikabarkan akan membuat holding baru bernama Seviora. Khusus untuk mengelola aset manajemen dengan jumlah aset 813 T.
Sementara kita cukup puas dengan mewacanakan dan meributkannya saja. Itu sudah Indonesia. Itu budaya kita.
Jangankan meniru Singapura dan Malaysia, baru melakukan subholding anak usaha saja sudah pada ribut bukan main. Seolah-olah dunia kiamat. Atau setidaknya bakal terjadi huru-hara.
Kritik ke Pertamina itu bermacam-macam bentuknya. Ada yang melakukannya terang-terangan seperti Arie Soemarno kakaknya Rini Soemarno. Atau ada yang hanya berani nyenggol-nyenggol seperti Dahlan.
Padahal sebenarnya ya tidak ada apa-apa di sana. Justru langkah perubahan itulah yang akan membuat perusahaan negara lebih efisien.
Misalnya soal subholding, perusahaan akan dapat modal segar dari luar. Lebih profesional. Tidak menjadi sapi perah oknum jahat, dengan senjata politik. Karena semua kebijakan dilakukan demi kepentingan bisnis.
Kekurangan BUMN kita selama ini: terlalu gemuk dan lamban. Maka dilakukanlah perampingan. Beberapa perusahaan dibubarkan dan digabungkan dengan yang lain. Agar lebih lincah.
Ternyata itu tidak cukup. Anak-anak usaha perusahaan negara itu banyak yang tidak produktif. Ia menjadi beban bagi induknya. Karena persoalan inilah, ide untuk membuat subholding dilakukan.
Tapi tentu saja banyak yang tidak suka. Memang kalau sudah ngomong soal perusahaan negara, Pertamina misalnya, orang-orang seperti ngiler ingin menggigitnya. Mungkin karena mereka gak kebagian kue.
Ada saja masalah yang dicari-cari. Bahkan sesuatu yang sudah jelas saja dibuat buram dan kelihatan ruwet. Padahal sebenarnya ya tidak ada apa-apa.
Karena kalau memang ada apa-apa di sana, ya tinggal dilaporkan ke pihak berwajib. Seret pelakunya ke meja hukum. Bukan malah main drama dan sibuk bikin sensasi. Biar terkesan heroik ala-ala.
Namun sekali lagi, kita ini memang lebih suka berwacana. Bergosip. Keminter. Nulis yang miring-miring seolah ada sesuatu. Atau seolah tahu sesuatu. Giliran dikejar, ayo buktikan, eh, malah mundur ke belakang. PHP. Ngeselin.
Orang-orang semacam ini banyak sekali. Dan mereka melakukan itu dengan berbagai cara. Mungkin inilah yang disebut oleh Dahlan sebagai buaya-buaya dalam tulisannya. Sayangnya, Dahlan pun tidak akan menyebut mereka siapa.
Cukup tahu saja.
"Iya, siapa?"
Hening...
0 Komentar