MH Said Abdullah |
Beberapa hari ini kita dikejutkan dengan pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun 2020, khususnya yang menyangkut utang pemerintah. BPK menyatakan adanya kerentanan terhadap rasio utang terhadap penerimaan dan rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan. Kerentanan itu dipandang oleh BPK telah melampaui batas terbaik yang direkomendasikan oleh lembaga internasional.
Pernyataan BPK ini baik tetapi kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif, dan kerjasama antar lembaga disaat bangsa dan negara menghadap krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi. Saya kira pemerintah dimanapun tidak akan mau terbelit utang, dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan.
Pandemi Covid19 yang mulai masuk pada Maret 2020 direspon oleh pemerintah melalui kebijakan counter cyclical, yakni menaikkan belanja negara jauh lebih besar dari penerimaan negara. Membesarnya belanja negara ini sebagai langah pemerintah untuk mengantisipasi belanja penanganan Covid19 sekaligus dampak sosial-ekonominya. Penerimaan perpajakan memang turun pada tahun 2020. Turunnya penerimaan perpajakan disebabkan oleh dua hal, (1) untuk insentif perpajakan terhadap diberbagai sektor, khususnya UMKM sebagai puzzle pemulihan ekonomi, (2) ekonomi tahun 2020 mengalami kontraksi, yang berkonsekuensi menurunnya penerimaan perpajakan.
Pada tahun 2020, APBN kita di support dari pembiayaan utang sebesar Rp. 1.227,8 triliun. Angka ini memang melonjak dari tahun tahun sebelumnya. Pada tahun 2017 pembiayaan utang sebesar Rp. 429,1 triliun, tahun 2018 turun ke Rp. 372 triliun, tahun 2019 naik menjadi Rp. 437,5 triliun. Pada tahun 2021 porsi pembiayaan dari utang sebesar Rp. 1.177,4 triliun. Secara akumulatif, pada tahun 2020 terjadi lonjakan besaran utang pemerintah, jika pada tahun 2019 total utang pemerintah sebesar Rp. 4.778 triliun, maka pada tahun 2020 menjadi Rp. 6.074, 6 triliun.
Sebagai gambaran, membesarnya tingkat utang pemerintah berdampak langsung pada kenaikan defisit utang terhadap PDB. Jika pada tahun 2019 rasio utang terhadap PDB sebesar 30,2%, maka pada tahun 2020 naik menjadi 39,4% dan pada tahun 2021 menjadi 41,1%. Perlu digarisbawahi bahwa meningkatnya jumlah utang pemerintah masih jauh batas atas yang digariskan oleh Undang Undang No 17 tahun 2003. Undang undang ini mengatur batas atas utang pemerintah sebesar 60% PDB.
Perlu publik ketahui bahwa Menteri Keuangan telah membuat ketentuan mitigatif, melalui Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024. Beleid inilah yang dirujuk oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan dalam menjalankan kebijakan utang pemerintah. Atas dasar inilah saya perlu menyampaikan beberapa hal kepada menyangkut kebijakan utang pemerintah ini;
1. Dalam kerja bersama, gotong royong, bahu membahu antar lembaga dan kementerian untuk menanggulangi covid19 dan dampak sosial ekonominya, diperlukan komunikasi yang produktif. Antar lembaga dan kementerian hendaknya tidak saling “menyerang” dimuka umum. Sikap ini jauh dari kepatutan dan tidak menjadi teladan yang baik baik rakyat yang sedang sudah menghadapi pandemi.
2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara. Sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya diatur kuat oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang No 6 tahun 2006, maka segala tugas dan fungsi serta tindakannya harus mengacu pada ketentuan perundang undangan dan produk turunannya, bila ada pertimbangan lain diluar undang undang, hal itu bukanlah yang utama dan bukan menjadi acuan BPK menyatakan pendapat untuk dijadikan landasan dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan.
BPK akan lebih bijak bila menemukan berbagai praktik internasional yang baik dalam tata kelola utang pemerintah, lebih bijak bila BPK menjadikannya sebagai rekomendasi tambahan yang sifatnya saran kepada pemerintah. Sebab yang utama dari rekomendasi BPK yang bersifat mengikat adalah ketentuan perundang undangan
3. Profil utang pemerintah dengan mengacu data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan menunjukkan resiko valas yang menunjukkan tren penurunan. Dari total utang pemerintah pada tahun 2019 sebesar Rp. 4.778 triliun, sebesar Rp. 1.808,9 triliun (37,8%) dalam bentuk valas. Pada tahun 2020 porsi valas naik ke level Rp. 2.037 triliun (33,5%) dari total utang Rp. 6.074,6 triliun. Langkah ini masih dalam koridor Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 memang ditetapkan porsi utang pemerintah dalam komposisi valas maksimal 41%.
4. Rata Rata Tertimbang Jatuh Tempo atau Average Time to Maturity (ATM) utang pemerintah menunjukkan tren penurunan. Setidaknya pada rentang 2016-2020 ATM menunjukan angka dibawah 9 tahun. Posisi ini menunjukkan indikator manajemen utang terkelola dengan baik. ATM utang pemerintah pada tahun 2016 diangka 9.1, tahun 2017 diangka 8.7 tahun, 2018 diangka 8.4 tahun, 2019 diangka 8.5 tahun dan 2020 diangka 8.8 tahun. Data ini menjelaskan bahwa manajemen penerbitan, penjualan, dan jatuh tempo utang pemerintah dijalanken dengan tata kelola yang baik.
5. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari utang, pemerintah telah menempuh langkah kreatif menggunakan berbagai strategi, Berbagai skema proyek tidak harus bergantung pada APBN. Pendirian Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan program program pemerintah dari sumber utang, termasuk juga skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan swasta murni, termasuk menuntut kinerja BUMN baik agar deviden BUMN memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara.
6. Pemerintah juga telah mengajukan usulan revisi Undang Undang Ketemtuan Umum Perpajakan (KUP) kepada DPR. Diharapkan ada kompatibilitas antara postur ekonomi nasional dengan sistem perpajakan nasional. Dampaknya diharapkan rasio pajak akan meningkat, kompatibel dengan peningkatan perekonomian nasional. Langkah ini sebagai jalan untuk mengurangi gap dan ketertinggalan antara rasio pajak terhadap PDB dengan rasio utang terhadap PDB. Sehingga Debt to Income Ratio (DTI) kita makin kuat.
Demikian pernyataan sikap saya, semoga kiranya dapat menjernihkan sengkarut opini terkait utang pemerintah. Isu ini memang sensitif dan kerap dijadikan alat untuk menyerang pemerintah, bukan dalam kerangka dialog yang produktif dan konstruktif.
Jakarta, 25 Juni 2021
Ketua Badan Anggaran
MH Said Abdullah
0 Komentar