Serangan teror yang terjadi adalah manivestasi pemikiran Khawarij era klasik

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa semua perintah di dalam agama dilengkapi dengan tata cara pelaksanaannya, baik perintah itu bersifat wajib maupun sunnat. Mereka hanya berbeda pendapat tentang apakah tata cara pelaksanaan perintah itu datang bersamaan dengan perintah, lebih dulu, atau belakangan.  Umar bin Abdul Azis mengatakan siapapun yang bergegas melaksanakan perintah tanpa belajar dulu tata cara pelaksanaannya, maka dia akan lebih banyak membuat kerusakan daripada kebaikan.  

Jihad, tablig, menegakkan hukum Allah SWT, menegakkan keadilan, mencegah kemunkaran, semua adalah perintah agama. Siapapun yang hendak menjalankan perintah tersebut harus belajar dulu tata cara pelaksanaannya dengan benar.  

Para ulama sejak zaman salaf saleh selalu mengingatkan tentang hubungan amal perbuatan dan ibadah yang benar dengan etika dan ilmu. Dalam Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah mengutip para ulama yang mengatakan bahwa ilmu hanya bisa didapatkan dengan adab, dan ibadah hanya akan sah jika didasari ilmu.  

Putra Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan wasiat dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad, dari Imam Syafi’i, dari Imam Malik, yang mengatakan siapapun tidak boleh mempelajari ajaran agama Islam hanya melalui bacaan, catatan, atau kitab. Dia harus mempelajarinya dari seorang guru yang juga memiliki guru dengan silsilah jalur transmisi keilmuan yang muttashil sampai generasi para sahabat.  

Mereka yang hanya belajar agama dari catatan atau buku, disebut sebagai kaum suhufi dan mushafi. Sejak zaman salaf saleh, orang yang demikian ini dianggap daif, atau tidak valid keilmuannya dan tidak boleh diambil pendapatnya. 

Dari sini kita bisa memahami kenapa di kalangan Ahlussunnah wal-Jama’ah hanya empat mazhab yang terus diajarkan sampai saat ini, padahal Imam Bukhari, setelah lama bermazhab Syafi’i dan belajar Mazhab Hanafi, dia berhasil mencapai derajat mujtahid muthlaq dan memiliki mazhab sendiri. Mazhab Imam Bukhari, Imam Laits, Sufyan Al-Tsauri, dan lain-lain tidak diajarkan sebagai mazhab yang baku hari ini karena pemahaman Islam mereka yang juga benar itu, tidak diajarkan di setiap generasi oleh para guru.  

Imam Muslim dan Imam Baihaqi yang ahli hadis dan hafal Alquran itu sampai meninggal dunia memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan cara mengikuti Madzhab Syafi’i. Dalam catatan Ibnu Hajar dan ibnu Taimiyah, kebanyakan ahli hadis yang juga hafal Alquran itu tetap bermazhab, kecuali Abu Dawud dan Imam Bukhari.  

Mayoritas umat Islam yang disebut dengan kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti etika berislam seperti ini sehingga tetap selamat di atas jalan yang benar. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa di antara mereka ada yang menjadi mujtahid, tetapi sebelum sampai pada derajat mujtahid itu, mereka juga mengaji dan mempelajari ajaran agama melalui guru-guru yang benar. 

Ada pula yang tetap berada pada level taqlid, dan ini adalah kelompok mayoritas. Mereka juga sah ibadahnya. Lalu ada sebagian ulama yang mumpuni keilmuannya tetapi tidak sampai derajat mujtahid. Ibnu Taimiyah menyebutnya dengan kelompok muttabi’. 

Di luar kelompok ini ada kaum muda, dalam artian muda usia maupun muda pemahaman agamanya, yang di dalam catatan sejarah Islam selalu membuat kegaduhan dan kerusakan. Mereka tidak peduli pada silsilah transmisi keilmuan melalui jalur sanad yang ketat. Mereka sangat semangat memurnikan Islam dan menegakkan keadilan serta hukum Allah SWT, tetapi tidak memiliki ilmu dan pemahaman yang benar. Mereka inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai kaum Khawarij.   

Golongan ini selalu merasa lebih sholih, lebih benar, dan lebih baik Islamnya dibandingkan dengan siapapun. Dalam hadis-hadits tentang Khawarij disebutkan bahwa pemuka Khawarij bahkan merasa lebih adil dari Rasulullah SAW, merasa lebih saleh dan lebih baik dari Abu Bakar, Umar, dan para sahabat lain. 

Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, mereka melakukan aksi politik besar pertama pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, meskipun yang terkenal adalah ketika mereka melakukan perlawanan terhadap Ali bin Abi Thalib.  

Ibnu Katsir mengatakan bahwa demonstran Khawarij yang membunuh Utsman bin Affan itu adalah kaum baru Islam, bukan para sahabat Rasulullah. Mereka menuduh Ustman dengan tuduhan tidak menegakkan keadilan, melakukan nepotisme, dan tidak menegakkan syariat Islam dengan benar. Seandainya mereka memahami ajaran Islam dengan baik, mereka tidak akan menuduh Utsman bin Affan, menantu Rasulullah yang dijamin masuk surga itu dengan tuduhan-tuduhan keji.  

Ketika mereka melawan Ali bin Abi Thalib dan pasukannya, mereka juga merasa sebagai orang-orang yang menegakkan keadilan dan hukum Allah. Mereka menuduh Ali bin Abi Thalib sebagai orang yang tidak mnegakkan hukum dan syariat Allah. Padahal Ali bin Abi Thalib yang juga dijamin masuk surga itu tentu jauh lebih paham tentang ajaran Islam daripada mereka. 

Dari sini kita juga paham kenapa kaum Khawarij hari ini, yang disebut Syekh Ali Jumah dan para ulama Al Azhar Mesir sebagai Khawariju al-‘Ashr atau Neo Khawarij, begitu mudah membunuh, menteror, dan menyakiti orang. Jangankan non-Muslim, sesama orang Islampun mereka bunuh dan mereka teror. Itulah yang dilakukan Alqaeda, ISIS, JAD, dan ratusan kelompok Neo Khawarij lainnya.  

Khawarij sebagai sebuah mazhab hanya tersisa kelompok Ibadhiyah yang saat ini dianut oleh sekelompok kecil umat Islam di salah satu negara Teluk. Tetapi sebagai sikap beragama, kaum Khawarij ini berada di mana-mana. Meskipun mereka sendiri terkadang tidak menyadari dan mengklaim bahwa perilakunya dalam beragama dan berpolitik sama persis dengan ajaran kaum Khawarij.  

Hadits-hadits mengenai kelompok dan perilaku kaum Khawarij ini sangat banyak jumlahnya. Para ulama juga mengakui validitas hadits-hadits tersebut. Dan Rasulullah menyebutkan bahwa Khawarij adalah seburuk-buruknya manusia. Di dunia ini banyak manusia keji, tetapi Rasulullah menyebut Khawarij sebagai makhluk paling buruk, bukan lainnya.  

Rasulullah menyebut ciri-ciri kaum Khawarij yang sangat rajin beribadah, yang jika para sahabat beliau membandingkan ibadah mereka dengan ibadah kaum Khawarij, para sahabat nabi pun merasa kalah rajin. Kaum Khawarij juga sangat fanatik dengan Alquran, tetapi tidak paham ajaran Islam dalam Alquran, sehingga mereka suka mengacungkan senjata kepada sesama Muslim sambil menuduh mereka dengan tuduhan musyrik atau tuduhan kafir.  

Mereka rajin membaca Alquran, tetapi hanya lewat kerongkongan mereka saja, tidak masuk ke dalam hati. Bahkan Rasulullah menyebutkan bahwa Islam keluar dari dada mereka seperti anak panah yang melesat dari busur dan menembus binatang buruan.

Ali bin Abi Thalib pernah meminta Ibnu Abbas untuk berbicara dengan kaum Khawarij dan memberi penjelasan tentang ayat-ayat Alquran serta ajaran Islam yang dipahami secara salah oleh mereka. Sekali datang, Ibnu Abbas pernah membuat delapan ribu orang Khawarij taubat.  

Kaum Khawarij yang tersisa dan terus melawan Ali bin Abi Thalib kemudian diperangi Ali dan pasukannya. Saat itu, Ali dan pasukannya sedang bersiap untuk berangkat perang melawan kafir harbi. Tetapi Ali memutuskan untuk mendahulukan memerangi kaum Khawarij yang saleh, khusyuk, dan anti maksiat itu terlebih dahulu. Kesalehan, kekhusyukan, dan ghirah Islam yang tinggi tanpa didasari ilmu dan pemahaman Islam yang benar, selalu menjadi masalah sejak masa Rasulullah.  

Dalam mukadimah Syarah Muslim karya Imam Nawawi maupun Syarah ‘Ilal al-Tirmidzi karya Ibnu Rajab, disebutkan bahwa orang-orang khusyuk, saleh, dan zuhud tetapi tidak berilmu, menjadi musuh bersama para ahli hadits dan para ulama karena mereka mengacaukan ajaran agama Islam. Sebagian ada yang menjadi Khawarij, sebagian lagi menjadi penyebab kesesatan dan kerancuan ajaran Islam.  

Rasulullah tidak mengkafirkan kaum Khawarij, meskipun menyebut mereka sebagai makhluk terburuk. Ali bin Abi Thalib menyebut mereka orang-orang tersesat, tetapi tidak mengkafirkan mereka. Al Azhar Mesir juga tidak mengkafirkan Khawarij ISIS. Bagaimanapun, mereka itu beragama Islam. Mereka itu tersesat. Mereka adalah penyakit, layaknya kanker. Dan penyakit itu ada di dalam tubuh kita, umat Islam.     

Rasulullah  SAW memberitahukan kepada kita umat Islam, bahwa kaum Khawarij itu akan selalu ada sampai akhir dunia.  Mereka bisa menjelma menggunakan nama apa saja. Berupa kelompok teror maupun kelompok politik radikal. Mereka menjadi bagian dari ujian umat Islam.

Tugas dan kewajiban kita adalah berusaha menghentikan kejahatan dan kekejian mereka, melalui usaha-usaha pengajaran yang benar maupun tindakan-tindakan tegas dan pendekatan keamanan. Seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas.  

Tetapi jika kita tidak mengakui bahwa penyakit bernama Khawarij itu ada di dalam tubuh umat kita, maka usaha menangani penyakit itu juga akan semakin sulit. Bagaimana kita akan mengobati suatu penyakit, jika penyakit itu tidak diakui keberadaannya. Padahal yang menyebutkan keberadaan penyakit itu adalah Rasulullah SAW sendiri. 

Bibit radikalisme adalah ideologi dan ajaran yang salah. Bukan ketidakadilan yang ada dalam persepsi kaum Khawarij. Apakah kita akan membenarkan tindakan kaum Khawarij yang membunuh Utsman bin Affan karena mereka merasa ada masalah ketidak-adilan? Wallahu A’lam. 

Oleh Ali Mashar Lc MSi, Sekretaris PP MDS Rijalul Ansor  

KHAZANAH REPUBLIKA


untuk artikel menarik lainnya, silakan baca lewat aplikasi Cek Porsi haji, download aplikasi android ini  di https://bit.ly/idporsi