Permainan ini bisa jadi sarana hiburan bagi anak. Hanya saja orang tua tetap harus menegaskan aturan mainnya agar anak jangan sampai kecanduan.

Permainan uji “ketangkasan” seperti GameBoy (GB) yang kini marak pada dasarnya bisa dijadikan sarana hiburan menarik. Semisal jadi kegiatan selingan untuk melepas penat sepulang sekolah atau alternatif di kala liburan.

Sayangnya, ditegaskan Rahmitha P. Soendjojo, Psi., GB dan permainan sejenisnya hanya berperan merangsang keterampilan atau kecepatan jari-jari tangan.

Contohnya ketika bermain, anak akan berusaha agar sosok yang dia mainkan bisa berlari cepat, melempar, atau menangkap sesuatu sesegera mungkin. Padahal, bukankah lebih bermanfaat jika anak betul-betul melakukan kegiatan berlari, melompat, dan menangkap karena di usia sekolah dasar seharusnya ia sudah memiliki kemampuan motorik seperti itu.
“Anak yang tak dibiasakan bergerak karena waktunya hanya dihabiskan untuk duduk main game, besar kemungkinan kebugaran dan kondisi tubuhnya secara umum tidak terlalu baik,” komentar psikolog dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) ini.


HAFALAN ATAU IMAJINASI?
Lalu benarkah GB bisa merangsang imajinasi anak? Psikolog yang akrab disapa Mitha ini menjelaskan, anak memang akan melakukan proses berpikir supaya sosok yang dimainkannya dalam game tersebut tidak mati alias game over. Makanya, saat bermain anak akan berusaha agar sosok pilihannya bisa berlari cepat, menendang atau memukul lebih dulu dan telak mengenai lawannya.
Tidak istimewanya, proses bermain dalam GB dan permainan sejenisnya bersifat pengulangan. Artinya, ketika anak sudah tahu jalan cerita dalam game tersebut, misalnya setelah memukul lawan akan muncul lawan lainnya dari arah belakang, maka si anak otomatis akan berupaya mengantisipasi serangan tersebut. “Karena ada pengulangan, akhirnya dia menemukan pola bermain dalam game itu. Anak jadi hafal dan bisa mengatur strategi.”


Bagaimana dengan anggapan bahwa permainan ini bisa merangsang kemampuan berimajinasi? Mitha meragukannya. “Kemajuan imajinasi seperti apa?” ujar Mitha balik bertanya sambil menegaskan bahwa GB tidak menjamin mampu merangsang kemampuan berimajinasi anak dalam menciptakan sesuatu. “GameBoy lebih menitikberatkan pada kemunculan sensasi dalam diri anak. Ketika gambarnya lebih hidup dan permainannya lebih mengasyikkan, anak akan merasa dirinya dan pikirannya menyatu dengan game tersebut.”


Kondisi ini, tukas psikolog alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung ini, tentu berbeda dengan orang yang berimajinasi, yang mencoba berkhayal secara kreatif untuk menghasilkan suatu karya. Sementara pada GB dan permainan canggih sejenisnya, anak memang seolah-olah ditarik untuk masuk seutuhnya ke dunia permainan tersebut tanpa harus mengkreasikan sesuatu yang baru.

WASAPADAI DAMPAK BURUK GB
Lalu adakah dampak buruk dari permainan ini? Menurut Mitha, sebuah studi yang masih intens dilakukan di Amerika Serikat berupaya meneliti anak-anak yang terus-menerus bermain game dan dampaknya terhadap mereka. Dari banyak catatan, game umumnya mengutamakan agresivitas seperti perkelahian dan usaha keras untuk memukul atau menyerang sampai lawan tak berdaya. Dengan kata lain, “Tingkah laku antisosial sangat terekspos dalam permainan seperti ini.”


Tak heran kalau saat bermain game, anak pun akan berusaha memainkan tokoh jagoannya supaya selalu menang dengan cara mengalahkan lawannya. Anak sama sekali tak tahu, sebenarnya tokoh yang dimainkannya membawa misi apa dalam permainan tersebut. Yang dia tahu pasti, dia harus terus mengejar dan menghabisi lawannya. Mengerikan sekali bukan?


Lebih dari itu, dalam permainan sejenis ini anak hanya tahu bahwa ia harus berjuang mengalahkan lawannya dengan cara apa pun. Entah membanting, memukul dan menendang, menusuk, ataukah menembak. Emosi negatif semacam inilah yang bisa membawa akibat merugikan pada anak ketika menjalani kehidupannya sehari-hari. Terlebih saat anak menghadapi kesulitan, tidak mustahil jika dia sangat ingin menggunakan cara-cara sama seperti yang dilakukannya dalam game. “Anak akan meniru melakukan tindak kekerasan. Minimal mungkin dia akan mendorong, memukul dan menendang siapa pun yang dianggap lawannya.”

Meski begitu Mitha tak menampik ada beberapa permainan yang tidak melulu menampilkan tindak kekerasan, melainkan menyajikan permainan yang mengasah taktik/strategi ataupun petualangan. Akan tetapi, tukasnya, “Tetap saja aktivitas-aktivitas semacam itu tergolong agresif. Mau tidak mau anak akan terus dikuasai ketegangan karena selalu berusaha agar tidak game over.”
Selain kekhawatiran meniru tindak kekerasan, menurut Mitha dampak buruk yang juga harus dicermati orang tua adalah kemungkinan anak jadi lupa waktu saking asyiknya bermain. Akibatnya, tak heran jika ia tak lagi bisa disiplin dalam mematuhi jadwalnya, termasuk kapan waktu untuk belajar, tidur siang, makan, dan sebagainya.

Terlalu banyak main game pun bisa mengganggu pertumbuhan tulang belulangnya. Bukankah anak terus-menerus berada pada posisi duduk yang itu-itu saja yang justru termasuk posisi kurang baik. Soalnya, agak mustahil jika mereka duduk manis dengan sikap duduk yang benar. Yang kebanyakan terjadi, anak akan mencari posisi seenaknya, semisal membungkuk atau malah tidur-tiduran selama berjam-jam.

Disamping itu, kemampuan berinteraksinya juga akan terhambat. Bila sudah asyik bermain GB, anak pasti akan malas bergaul dengan anggota keluarga dan teman-temannya di luar rumah. Bayangkan kalau kemana-mana ia tidak bisa lepas dari GB-nya? Di tengah keramaian sekalipun, anak hanya akan berkutat dengan dunia game-nya sendiri.

Majalah Straits Times tahun 2001 pernah memuat kekhawatiran Profesor Ryuta Kawashima dari Universitas Tohoku, Jepang, yang mengungkapkan bahwa anak-anak yang kecanduan game, lama-kelamaan sebagian otaknya akan mengalami kerusakan. Menurutnya, game hanya menstimulasi sebagian otak yang mengontrol fungsi penglihatan dan gerakan. Sedangkan bagian otak lainnya yang ternyata memiliki fungsi yang sama-sama penting malah sama sekali tak terstimulasi.

Berdasarkan penelitiannya, jika terlalu sering bermain game, bagian otak depan individu yang bersangkutan tak akan berkembang. Padahal, otak bagian depan ini mengemban tugas/fungsi yang cukup penting, yakni mengontrol perilaku, emosi, sekaligus mengembangkan daya ingat.

AGAR TAK AGRESIF DAN KECANDUAN
Sedapat mungkin ikutlah terlibat saat anak membeli “kaset” software permainan. Arahkan anak untuk menjatuhkan pilihan pada permainan yang lebih bersifat petualangan dan strategi dan bukan tindak kekerasan. Lalu batasi waktunya dalam bermain GB. Misalnya hanya boleh di hari Minggu atau libur dan itu pun tak lebih dari dua jam. Dengan catatan, anak baru boleh main kalau sudah mengerjakan tugas atau selesai ujian sekolah. Jadi, hanya sebagai alternatif untuk relaksasinya.


Trik lain agar tak kecanduan, berikan anak tugas-tugas domestik seperti mencuci piring, mengepel, merapikan lemari dan membersihkan kamarnya. Atau doronglah anak melakukan kegiatan positif lain semisal berenang dan main sepeda yang bisa mengurangi kecenderungan anak bermain game.

Sumber:  www.tabloid-nakita.com/ Hilman Hilmansyah