KOMPAS.com - Bagaimana membalik citra produk rokok yang identik dengan gaya kampungan, murah, dan ketua-tuaan bisa menjadi tren anak muda? Maka tengoklah iklan Djarum Coklat yang menggandeng penyayi Padi, Nugie, dan Gigi yang tampil dengan jingle-nya yang akrab di telinga.

Atau lihat pula iklan Jamu Tolak Angin yang muncul dengan tagline-nya 'Orang pintar minum Tolak Angin', telah meninggalkan jauh-jauh kesan sebagai produk pinggiran. Di balik iklan-iklan itu, ada PT Dwi Sapta Pratama yang dinahkodai oleh Aloysius Adji Watono yang sukses membalik citra produk-produk tersebut.

Mestinya, iklan-iklan buatan Adji sudah akrab bagi pemirsa televisi. Sebut saja, Djarum Coklat, Vegeta, Mixagrip, Tolak Angin, Adem Sari, Twister, dan masih banyak iklan televisi lainnya yang berhasil ditelorkan oleh pria kelahiran Kudus, 60 tahun lalu ini. Hasilnya pun sangat maksimal dan iklan buatannya mendapat sambutan hangat di tengah masyarakat.

Namun, siapa sangka kalau perusahaan agensi periklanan beromset ratusan miliar rupiah ini, dulunya hanya berupa studio fotografi. Saat itu, dengan bekal Rp 10 juta, Adji nekat mendirikan Studio 27 di kawasan Rawamangun, Jakarta pada 1981. Alasannya, hanya lantaran dirinya hobi jepret-jepret dan memotret model yang cantik.

"Karena saya suka wong wedok ayu (cewek cantik). Karena saya senang motret-motret, terus ya tak buka aja studio foto 27," ujar Adjie, saat ditemui Kompas.com, di kantornya, di kawasan Kelapa Gading.
Awal berdiri, Dewi Fortuna seolah enggan datang lantaran order foto tak menghampiri setiap hari. Akhirnya, baru setahun kemudian order besar datang dari raksasa produk rokok nasional, PT Djarum yang memberikan order pemotretan foto-foto produk untuk iklan, brosur, dan company profile.

Hasil foto yang bagus ternyata memberikan kepuasan terhadap Djarum hingga akhirnya podusen rokok ini takagi sekedar meminta jasa foto untuk brosur, tapi juga order untuk membuat stiker, umbul-umbul serta sejulam spanduk promosi.

Usahanya pun terus berkembang, dan Adji pun mulai mengembangkan sayapnya. Tahun 1985, dia mulai mendirikan perusahaan screen printing, PT Intan Gading Kencana Persada atau yang akrab di sebut In Ad karena semakin banyaknya permintaan pembuatan spanduk serta bentuk iklan untuk media cetak lainnya.
Dari situlah, Adji terus berekspansi dan mendirikan PT DSP, sebagai full service advertising agency pada tahun 1989 ."Waktu itu, dunia pertelevisian nasional melahirkan RCTI dan saya melihat ada peluang lain yang lebih terbuka. Kemudian, tak hanya menggeluti below the line, namun saya nekat untu merambah above the line lewat pembuatan TV komersial," ungkap alumni SMP Pangudi Luhur Ambarawa itu.
Di tahun yang sama, Adji memutuskan untuk pindah kantor dari kawasan Rawamangun ke kawasan Kelapa Gading.

Djarum kembali menjadi klien pertamanya untuk promosi above the line yang ditangani Dwi Sapta. Selepas tahun 1990, usahanya terus berkembang dan banyak klien mulai berdatangan. Tahun 1991-1992 misalnya, produk Minigrip dan Mixadin dari PT Dankos Laboratories memercayakan Dwi Sapta menggarap TV komersilnya.

Diikuti oleh PT Ceres produsen meises Ceres dan biskuit Selamat yang menghampirinya tahun 1993. Tak cukup disitu, bahkan salah satu karya Dwi Sapta, Djarum Classic sikses terpilihsebagai The Best Print Ad di majalah Gatra pada tahun 1995 .
Berdatangannya klien membuat pundi-pundi Dwi Sapta tanpa terasa terus menggembung. Sementara tak sedikit agensi lainnyaa yang kehilangan kliennya karena merapat ke Dwi Sapta.

Tahun 1997 , Dwi Sapta sanggup meraih billing cukup besar. Di tahun ini, iklan Djarum Super hasil garapannya mendapat penghargaan 'Iklan Tervaforit' versi pembaca Bintang Indonesia.
Sayangnya, krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 mulai menghantam usaha Dwi Sapta. Tahun 1998 pun omzetnya turun drastis karena banyak perusahaan yang memotong anggarannya untuk beriklan. Praktis, ini membuat Dwi Sapta tidak ada pekerjaan sama sekali. "Itu masa-masa yang menyesakkan. Gaji karyawan rela dipotong 25-35 persen karena saya tidak ingin menerapkan kebijakan lay-off," kenangnya.

Meski demikian, angin segar lantas menghampiri Dwi Sapta lewat kesuksesan iklan permen Kino. Tahun 1999 , berdasarkan hasil riset Frontier dengan 5.000 responden di lima kota besar itu menyebut bahwa iklan Kino sebagai iklan permen yang paling disukai masyarakat dan dinilai sebagai iklan permen yang paling jenaka.Kesuksesan iklan permen Kino ini berbuah manis. Terbukti, sepanjang tahun-tahun krisis antara 1998 hingga 1999 itu, Dwi Sapta mampu mengerjakan lebih dari 30 iklan relevisi, yang 90 persen di antaranya adalah iklan baru.

Melihat iklan produksi Dwi Sapta, maka akan terpetik ciri khasnya yang lugas, materi pesan tunggal, fokus pada segmen tertentu dan simpel. Sederet merek kondang pun berhasil meroket di pasarnya. Menurut Adji, iklan harus komunikatif dan gampang dipahami konsumen. "Apa artinya kreativitas iklan bila akhirnya tak mampu menjual ke pasar," ungkapnya,

Pascakrisis itulah, masa-masa emas menghampiri Dwi Sapta dengan jumlah karyawan dan pendapatan perusahaan terus bertambah. Total jenderal, kini telah berdiri tujuh perusahaan di bawah bendera Dwi Sapta. Ketujuhnya yakni, Dwi Sapta Advertising, In Ad Below The Line, Netracom Film, Neo Post Productions, Maid Ad Advertising, DSP Media, dan Bee Activator. Tahun depan, Dwi Sapta bakal kembali berekspansi dan membuka perusahaan baru yang bergerak di bidang Public Relations atau PR.

Pesan nenek
Kesuksesan Adji tak lepas dari peran orang-orang terdekatnya yang selalu menguatkan mentalnya untuk tekun, ulet, berbuat baik pada semua orang dan pantang menyerah."Nenek saya (Tjia Bie Hwa) selama hidupnya tak pernah fight other people, selalu baik dan sangat peduli pada orang lain. Makanya saya terima kasih banget sama nenek," sebut pria yang rutin melakukan lari pagi ini.

Berbekal inilah, Adji berusaha mengangkat derajat orang-orang di sekitarnya. Setiap tahunnya, dia memberikan beasiswa bagi 12 siswa yang kurang mampu.

Seringkali, dia juga mengangkat anak jalanan menjadi anak asuhnya. Seperti, suatu ketika dia membawa pulang seorang anak yang tengah mengais sampah di dekat kantornya. Munaroh, nama anak itu yang hingga kini masih diberikan bantuan pendidikan oleh Adji.

"Waktu itu, saya bawa pulang dia kesini. Saya kasih makan, dimandiin, terus diajarin biar pinter. Saya cari keluarganya, saya bantu mereka saya kasih duit. Sampai sekarang masih tu," kisahnya.
Kedepan, dia berangan-angan ingin membuka sebuah yayasan untuk menampung anak-anak yang tidak mampu di bidang pendidikan.

sumber: www.kompas.com